Selasa, 09 Maret 2010

Introspeksi Diri
Ketika mata hati berbicara, sesungguhnya tidak ada yang bisa dibohongi. Mata dan hati ini jujur apa adanya, tidak seperti lidah yang suka bersilat bagaikan lekukan dalam pencak silat. Kondisi Indonesia pada saat ini banyak sekali pengalihan cerita yang sesungguhnya merupakan ulah manusia. Allah swt. mengetahui apa yang telah dilakukan oleh umatNya. Agama dijadikan kedok politik, hukum agama sudah bisa dipermainkan bukan hanya oleh kalangan agama tapi kalangan non agama pun lebih-lebih. Banyak sekali kasus yang diumbar sebagai sarana konsumsi masyarakat umumm, seperti kasus nikah siri yang begitu gencar dipermasalahkan sementara orang yang jelas-jelas hamil diluar nikah begitu di sanjung-sanjung oleh Publik tidak hanya dikalangan nasrani tapi juga kaum muslim. Jika hal itu sudah terjadi maka tunggulah azab dari Allah swt.
Janganlah saling menyalahkan, janganlah mencari pembenaran diri sendiri. tapi tanyakanlah pada hati anda, apa yang telah diperbuat?
Setiap ada permasalah selalu dilarikan kepada permasalahan yang baru yang sesungguhnya permasalahan ini tidak ada solusinya. Kami sebagai rakyat hanya dapat menonton semua kebohongan yang telah dilakukan oleh orang-orang yang berperan.
Sesungguhnya Allah swt Maha Tahu, Allah tidak tidur, Allah tidak lelah, maka dengan itu segeralah bertaubat untuk kebaikan dirisendiri dan umat.

Senin, 28 Desember 2009

Sastra Sebagai Cerminan Masyarakat dalam Cerita Sri Sumarah

Bab 1. Pendahuluan
Sastra merupakan tulisan indah, baik yang ditulis oleh pengarang dalam kurun waktu tertentu maupun pengarang pada zaman sekarang. Selain itu juga sastra dapat dipandang sebagai gejala sosial, karena menurut Sangidu (2005:41) karya sastra merupakan tanggapan penciptanya (pengarang) terhadap dunia (realita sosial) yang dihadapinya. Di dalam sastra berisi pengalaman-pengalaman subjektif penciptanya, pengalaman subjektif seseorang (fakta individual atau libidinal), dan pengalaman sekelompok masyarakat (fakta sosial).
Dari tanggapan pencipta (pengarang) terhadap dunia sekelilingnya (realitas sosial) yang diwujudkan dalam bentuk karya sastra, maka kiranya dapat dikatakan bahwa karya sastra merupakan pembayangan atau pencerminan realitas sosial. Karya sastra yang dihasilkan pencipta (pengarang) merupakan sastra yang komplek, karena ia berada dalam jaringan-jaringan sistem dan nilai dalam masyarakat. Pencipta (pengarang) melahirkan karya sastra yang berwujud novel atau lainnya merupakan manifestasi sosial. Manifestasi sosial yang berwujud karya sastra tidaklah lahir dengan cara yang sederhana, tetapi ia lahir dengan cara pencipta (pengarang) terlebih dahulu melakukan analisis data-data yang ada dalam kehidupan masyarakat, menginterpretasikan, mencoba menetapkan tanda-tanda penting, dan kemudian mengubahnya dalam bentuk tulisan (karya sastra). Dengan demikian, yang harus diperhatikan oleh pencipta (pengarang) adalah bahwa karya sastra harus dilahirkan dari sebuah observasi yang rasional dan pengalaman pencipta (pengarang) dari sebuah realitas sosial. Sebelum pencipta (pengarang) menulis karya sastra yang berwujud novel atau lainnya, maka ia terlebih dahulu menganalisis sebuah realitas sosial yang dihadapinya (Zeraffa, 1973:35).
Sastra yang baik tidak hanya merekam kenyataan yang ada dalam masyarakat seperti sebuah tustel foto, tetapi merekam dan melukiskan kenyataan dalam keseluruhannya. Aspek terpenting dalam kenyataan yang perlu dilukiskan oleh pengarang yang dituangkannya dalam karya sastra adalah masalah kemajuan manusia. Karena itu, pengarang yang melukiskan kenyataan dalam keseluruhannya tidak dapat mengabaikan begitu saja dengan masalah tersebut. Ia harus mengambil sikap dan melibatkan diri dalam masyarakat karena ia juga termasuk salah satu anggota masyarakat (Luxemburg, 1984:28)
Karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Bagaimanapun karya sastra itu mencerminkan masyarakat dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan pada zamannya. Obyek karya sastra adalah relaitas kehidupan, meskipun dalam menangkap realitas tersebut sastrawan tidak mengambilnya secara acak. Karya sastra dapat juga mencerminkan dan menyatakan segi-segi yang kadang-kadang kurang jelas dalam masyarakat.
Sri Sumarah adalah karya sastra adiluhung yang mampu menyentuh hati nurani kita secara lembut. Karya yang mampu membangun jembatan pengertian dan kemanusiaan. Mengajak kita berpihak pada substansi kemanusiaan itu sendiri, bukan pada kulit, simbol, partai, golongan, suku, agama dan ras. Sumarah mampu membangunkan dalam diri kita rasa empati, “senasib sepenanggungan.”
Berdasarkan hal tersebut di atas, penyusun tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Sastra Sebagai Cerminan Masyarakat dalam Novel Sri Sumarah karya Umar Kayam”.
Novel Sri Sumarah ini memberikan gambaran kehidupan masa lampau dan bisa terjadi pada zaman sekarang. Umar Kayam memberikan gambaran kehidupan di waktu lampau mengenai kondisi Sumarah sebagai seorang wanita yang penuh perjuangan dalam memperjuangkan kehidup pribadi dan keluarganya. Sesuai dengan namanya “Sri Sumarah” yang artinya “Sumerah” (pasrah), tokoh ini pasrah dalam menjalani hidupnya, begitupun ia manut terhadap nasehat neneknya yang memegang adat kekunoan (Jawa).


Bab 2. Perumusan Masalah
Karya sastra memiliki hubungan yang erat dengan kehidupan sosial masyarakat karena sastra menyajikan gambaran kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Kehidupan mencakup hubungan antar masyarakt dengan orang-orang, antar manusia, antar peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Memandang karya sastra sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia, kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah “kebenaran” penggambaran, atau yang hendak digambarkan. Tetapi keliru kalau dianggap mengekspresikan selengkap-lengkapnya, meskipun karya sastra memang mengekspresikan kehidupan (Wellek dan Warren). Hal ini disebabkan fenomena kehidupan sosial yang terdapat dalam karya sastra kadang-kadang tidak disengaja ditulis oleh pengarangnya. Atau karena hakikat karya sastra itu sendiri yang tidak pernah langsung mengungkapkan fenomena sosial, tetapi secara tidak langsung, yang mungkin pengarangnya sendiri tidak tahu.
Umar Kayam dilahirkan di Ngawi, Jawa Timur 30 April 1932. Umar Kayam berasal dari keluarga guru, beliau selain sastrawan juga ahli dalam ilmu-ilmu sosial, hal inilah yang menjadi kelebihan dalam penulisan karya-karya fiksinya. Cerita-ceritanya berkisar mengenai tokoh-tokoh yang hidup dan situasi yang jelas serta dengan latar belakang sejarah yang nyata. Mengenai hal ini, sebagian pendapat mengategorikan Umar Kayam sebagai realis. Realis Umar Kayam adalah realisme Jawa yang mengenal kepribadian Jawanya. Pendapat lain perihal fiksi Umar Kayam salah satunya tentang Sri Sumarah disebutnya sebagai mewakili konsep Jawa tradisional tentang istri priyayi.
Dengan melihat isi dalam cerita Sri Sumarah karya Umar Kayam yang menggambarkan bahwa ia sebagai tokoh sentral dalam cerita mengalami berbagai macam cobaan dan penderitaan hidup yang dirasakannya. Maka masalah yang dapat dirumuskan sebagai bahan analisis sebagai berikut:
1. Bagaimana fakta sosial budaya yang terjadi dalam cerita Sri Sumarah karya Umar Kayam
2. Bagaimana tokoh Sumarah membangunkan empati masyarakat
3. Bagaimana Sumarah menggugah memori kolektif kita sebagai bangsa untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama
4. Bagaimana Sumarah mengingatkan kita bahwa sesama manusia, apapun latar belakang politik. Ideology, agama, ras, golongan, bahasa dan lain-lain merupakan fellow traveler (rekan seperjalanan) kita menuju keharibaanNya
Hasil analisa dari tokoh Sumarah yang merupakan cerminan masyarakat pada zamannya akan menjadi bahan kajian pada zaman berikutnya, karena bahwa karya sastra tersebut dapat menjadi suatu bukti sejarah yang berguna pada waktu yang akan datang.

Bab 3. Tinjauan Pustaka
Sastra
Sastra adalah satu istilah yang dikenal umum sebagai istilah yang digunakan untuk nama lembaga seperti fakultas, jurusan, dan program studi dalam sebuah perguruan tinggi. Pandangan ini dilatar belakangi oleh pengertian sastra sebagai alat mengajar, untuk membuat orang lebih tahu dan lebih paham terhadap dunia ataupun terhadap lingkungan sekitarnya. Istilah sastra digunakan untuk menyebutkan “keahlian’ yang ditujukan pada hasil manusia yang dikenal masyarakat luas dan dipersepsi sebagai kegiatan “bersastra”. Di sini terlihat keberadaan sastra dalam program studi sastra, yaitu program studi sastra dalam jurusan sastra, dan jurusan sastra dalam fakultas sastra. Secara pragmatis istilah sastra digunakan untuk menyebut satu sistem yang terbaca pada hasil kegiatan yang dipersepsi dan dirumuskan oleh masyarakat bangsa Indonesia dengan kata Sastra (Teeuw dalam Sangidu, 1984 : 36).
Apakah Sastra? Pertanyaan itu terasa sangat sederhana. Akan tetapi konsekuensi untuk menjawab tidaklah sesederhana menanyakannya. Wiyatmi (2006 : 14) mengatakan sastra bisa diibaratkan seperti angin, berada di mana saja dan kapan saja. Wellek dan Warren (1993) mencoba mengemukakan beberapa definisi sastra, pertama sastra adalah segala sesuatu yang tertulis atau tercetak. Dengan pengertian demikian, maka segala sesuatu yang tertulis, entah itu ilmu kedokteran, ilmu sosial, atau apa saja yang tertulis adalah sastra.
Kedua, sastra dibatasi hanya pada “mahakarya” (great books), yaitu buku-buku yang dianggap menonjol karena bentuk dan ekspresi sastranya. Dalam hal ini, kriteria yang dipakai adalah segi estetis, atau nilai estetis dikombinasikan dengan nilai ilmiah.
Ketiga, sastra diterapkan pada seni sastra, yaitu dipandang sebagai karya imajinatif. Istilah “sastra imajinatif” (imaginative literature) memiliki kaitan dengan istilah belles letters (“tulisan yang indah dan sopan”, berasal dari bahasa Perancis), kurang lebih menyerupai pengertian etimologis kata susastra.
Sastra sifatnya dinamis, tidak selalu melihat dari sudut objektif juga sudut subjektif dan kadang melihat dari segi keduanya. Sastra pun menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya.

Sosiologi Sastra
Hubungan dialektik antara karya sastra dan realitas sosial budaya memperkuat anggapan bahwa sastra merupakan salah satu institusi sosial. Sastra tidak hanya mendapat pengaruh dari realitas sosial tetapi juga dapat mempengaruhi realitas sosial. Memang benar, sastra mengambil sebagian besar karakternya dari bahasa, namun, terkecuali film. Novel seringkali merupakan ikatan dengan momentum tertentu dalam peristiwa sejarah masyarakat. bentuk dan isi novel lebih banyak berasal dari fenomena sosial daripada seni lain. Zerraffa mengatakan bahwa karya sastra merupakan analisis estetis dan sintesis sebuah realitas tertentu dan novelis senantiasa melakukan analisis dan sintesis sebelum memulai menulis (1973: 35).
Pendekatan sosiologi sastra menaruh perhatian pada aspek dokumenter sastra, dengan landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan gambaran atau potret fenomena sosial. Pada hakikatnya, fenomena sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasikan. Oleh pengarang- dia sebagai pembaca teks-, fenomena itu diangkat kembali (dikongkretkan) menjadi wacana baru dengan proses kreatif (pengamatan, analisis, interpretasi, refleksi, imajinasi, evaluasi, dan sebagainya) dalam bentuk karya sastra.
Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Kehidupan mencakup hubungan antar masyarakat dengan orang-orang, antar manusia, antar peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Memandang karya sastra sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia, kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah "kebenaran" penggambaran, atau yang hendak digambarkan. Tetapi keliru kalau dianggap mengekspresikan selengkap-lengkapnya, meskipun karya sastra memang mengekspresikan kehidupan (Wellek dan Warren). Hal ini disebabkan fenomena kehidupan sosial yang terdapat dalam karya sastra kadang-kadang tidak disengaja ditulis oleh pengarangnya, atau karena hakikat karya sastra itu sendiri yang tidak pernah langsung mengungkapkan fenomena sosial, tetapi secara tidak langsung, yang mungkin pengarangnya sendiri tidak tahu.
Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca. Menurut pendekatan sosiologi sastra, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra.

Bab 4. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui fakta sosial budaya yang terjadi dalam cerita Sri Sumarah karya Umar Kayam yang merupakan cerminan masyarakat pada zamannya, mengenal diri kita sendiri pada tokoh-tokoh yang kita baca. Seperti Sumarah, kita semuapun merasakan “keteduhan” itu, ketika kita mengetahui keputusan bulat sumarah menangani kasus anaknya. Mengetahui bahwa tokoh Sumarah membangunkan empati masyarakat, tokoh Sumarah menggugah memori kolektif kita sebagai bangsa untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama dan bahwa tokoh Sumarah mengingatkan kita bahwa sesama manusia, apapun latar belakang politik. Ideology, agama, ras, golongan, bahasa dan lain-lain merupakan fellow traveler (rekaan seperjalanan) kita menuju keharibaanNya

Bab 5. Metode Penelitian
Desain dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan teknik penelitian menggunakan metode Library Research atau metode kepustakaan dengan mencari sumber pustaka yang mendukung untuk objek penelitian “Sastra Sebagai Cerminan Masyarakat dalam Novel “Sri Sumarah” Karya Umar Kayam”. Unit analisis yang digunakan adalah isi cerita dari novel Sri Sumarah yang ditulis Umar Kayam. Kisah cerita ini terdiri dari tiga latar waktu, yaitu masa sebelum Gerakan 30 S/PKI, masa Gerakan 30 S/PKI, dan masa sesudah Gerakan 30 S/PKI.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan mimetik dimana karya sastra dihubungkan dengan semesta dan dengan dunia nyata. Sebuah teori klasik yang berasal dari Plato dan Aristoteles, yaitu yang terkenal dengan teori imitasinya. Esensial dari teori mimetik tersebut bahwa semesta, kenyataan, atau sesuatu yang di luar karya sastra itu sendiri menyaran pada pengertian luas termasuk berbagai masalah yang diacu oleh karya sastra, seperti filsafat, pandangan hidup bangsa, psikologi, sosilogi dan lain-lain (Nurgiyantoro, 2005 : 7). Dengan menggunakan pendekatan mimetik maka akan mengetahui hubungan kebenaran faktual dengan kebenaran imajinatif. Yang sebenarnya menurut Aristoteles yaitu bahwa karya sastra merupakan paduan antara unsur mimetik dengan kreasi, peniruan dan kreativitas, khayalan dan realitas.

DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A. Chaedar. 2002. Pokoknya Kualitatif. Pustaka Jaya : Bandung
Aminudin, Drs., M.Pd. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Sinar Baru Algesindo : Bandung
Atmazaki, Drs. 1991. Analisis Sajak, Teori, Metodologi dan Aplikasi. Angkasa : Bandung
Eagleton, Terry. 2006. Teori Sastra, Sebuah Pengantar Komprehensif. Jalasutra: Yogyakarta
Hawthorn, Jeremy. 1985. Studying Novel, An Introduction. Edward Arnold Press: Great Britain
Keraf, Gorys. 2004. Diksi dan Gaya Bahasa. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
Koentjaraningrat. 1973. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Edisi Ketiga. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta
Nurgiyantoro, Burhan. 2006. Teori Pengkajian Fiksi. Gadjah Mada Universty Press : Yogyakarta
Pradopo, Rachmat Djoko, Prof. Dr. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Pustaka Pelajar : Yogyakarta
------------------ 2005. Pengkajian Puisi. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta
------------------dkk. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Hanidita Graha Widya dan Masyarakat Poetika Indonesia : Yogyakarta.
Sangidu. Dr. M.Hum. 2005. Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori, Metode, Teknik dan Kiat. Seksi Penerbitan Sastra Asia Barat. Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Gadjah Mada : Yogyakarta
Semi, M. Atar, Prof. Drs. 1990. Metode Penelitian Sastra. Angkasa : Bandung
Suharyati, Henny, Dra., MA. 1995. Pengantar Pengkajian Prosa. Bahan Ajar Mata Kuliah Prose Fakultas Sastra Universitas Pakuan Bogor (tidak dipublikasikan)
Suwondo, Tirto. 2003. Studi Sastra, Beberapa Alternatif. Hanindita Graha Widya : Yogyakarta
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Pustaka Jaya : Jakarta
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Gramdia : Jakarta
Wiyatmi. 2005. Pengantar Kajian Sastra. Pustaka : Yogyakarta

Rabu, 23 Desember 2009

Filsafat Ilmu

FILSAFAT ILMU

1.Pendahuluan
Ditinjau dari segi historis, hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat menyolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani, “philosophia” meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis. Tetapi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dikemudian hari, ternyata juga kita lihat adanya kecenderungan yang lain. Filsafat Yunani Kuno yang tadinya merupakan suatu kesatuan kemudian menjadi terpecah-pecah.
Lebih lanjut Nuchelmans (1982), mengemukakan bahwa dengan munculnya ilmu pengetahuan alam pada abad ke 17, maka mulailah terjadi perpisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian dapatlah dikemukakan bahwa sebelum abad ke 17 tersebut ilmu pengetahuan adalah identik dengan filsafat. Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran Van Peursen (1985), yang mengemukakan bahwa dahulu ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut.
Dalam perkembangan lebih lanjut filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang secara subur. Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri.
Dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Oleh karena itu tepatlah apa yang dikemukakan oleh Van Peursen (1985), bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan.
Terlepas dari berbagai macam pengelompokkan atau pembagian dalam ilmu pengetahuan, sejak F.Bacon (1561-1626) mengembangkan semboyannya “Knowledge Is Power”, kita dapat mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia, baik individual maupun sosial menjadi sangat menentukan. Karena itu implikasi yang timbul menurut Koento Wibisono (1984), adalah bahwa ilmu yang satu sangat erat hubungannya dengan cabang ilmu yang lain serta semakin kaburnya garis batas antara ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau praktis.
Untuk mengatasi gap antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lainnya, dibutuhkan suatu bidang ilmu yang dapat menjembatani serta mewadahi perbedaan yang muncul. Oleh karena itu, maka bidang filsafatlah yang mampu mengatasi hal tersebut. Hal ini senada dengan pendapat Immanuel Kant yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat. Oleh sebab itu Francis bacon menyebut filsafat sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (the great mother of the sciences).
Pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya: Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffler, yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu.
Interaksi antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini tidak dapat berkembang dengan baik jika terpisah dari ilmu. Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari filsafat. Dengan mengutip ungkapan dari Michael Whiteman, bahwa ilmu kealaman persoalannya dianggap bersifat ilmiah karena terlibat dengan persoalan-persoalan filsafati sehingga memisahkan satu dari yang lain tidak mungkin. Sebaliknya, banyak persoalan filsafati sekarang sangat memerlukan landasan pengetahuan ilmiah supaya argumentasinya tidak salah.

2. Pengertian Filsafat
Perkataan Inggris philosophy yang berarti filsafat berasal dari kata Yunani “philosophia” yang lazim diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Akar katanya ialah philos (philia, cinta) dan sophia (kearifan). Menurut pengertiannya yang semula dari zaman Yunani Kuno itu filsafat berarti cinta kearifan. Namun, cakupan pengertian sophia yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu sophia tidak hanya berarti kearifan saja, melainkan meliputi pula kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian pengrajin dan bahkan kecerdikkan dalam memutuskan soal-soal praktis.
Banyak pengertian-pengertian atau definisi-definisi tentang filsafat yang telah dikemukakan oleh para filsuf. Secara harafiah filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Maksud sebenarnya adalah pengetahuan tentang kenyataan-kenyataan yang paling umum dan kaidah-kaidah realitas serta hakekat manusia dalam segala aspek perilakunya seperti: logika, etika, estetika dan teori pengetahuan.
Menurut sejarah kelahiran istilahnya, filsafat terwujud sebagai sikap yang ditauladankan oleh Socrates. Yaitu sikap seorang yang cinta kebijaksanaan yang mendorong pikiran seseorang untuk terus menerus maju dan mencari kepuasan pikiran, tidak merasa dirinya ahli, tidak menyerah kepada kemalasan, terus menerus mengembangkan penalarannya untuk mendapatkan kebenaran.
Timbulnya filsafat karena manusia merasa kagum dan merasa heran. Pada tahap awalnya kekaguman atau keheranan itu terarah pada gejala-gejala alam. Dalam perkembangan lebih lanjut, karena persoalan manusia makin kompleks, maka tidak semuanya dapat dijawab oleh filsafat secara memuaskan. Jawaban yang diperoleh menurut, dengan melakukan refleksi yaitu berpikir tentang pikirannya sendiri. Dengan demikian, tidak semua persoalan itu harus persoalan filsafat.
3. Filsafat Ilmu
Pengertian-pengertian tentang filsafat ilmu, telah banyak dijumpai dalam berbagai buku maupun karangan ilmiah lainnya. Filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang eksistensi dan pemekarannya bergantung pada hubungan timbal-balik dan saling-pengaruh antara filsafat dan ilmu.
Sehubungan dengan pendapat tersebut serta sebagaimana pula yang telah digambarkan pada bagian pendahuluan dari tulisan ini bahwa filsafat ilmu merupakan penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Objek dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu setiap saat ilmu itu berubah mengikuti perkembangan zaman dan keadaan tanpa meninggalkan pengetahuan lama. Pengetahuan lama tersebut akan menjadi pijakan untuk mencari pengetahuan baru. Hal ini senada dengan ungkapan dari Archie J.Bahm (1980) bahwa ilmu pengetahuan (sebagai teori) adalah sesuatu yang selalu berubah.
Dalam perkembangannya filsafat ilmu mengarahkan pandangannya pada strategi pengembangan ilmu yang menyangkut etik dan heuristik. Bahkan sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau kemanfaatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan manusia.
Oleh karena itu, diperlukan perenungan kembali secara mendasar tentang hakekat dari ilmu pengetahuan itu bahkan hingga implikasinya ke bidang-bidang kajian lain seperti ilmu-ilmu kealaman. Dengan demikian setiap perenungan yang mendasar, mau tidak mau mengantarkan kita untuk masuk ke dalam kawasan filsafat. Filsafat dari sesuatu segi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang berusaha untuk memahami hakekat dari sesuatu “ada” yang dijadikan objek sasarannya, sehingga filsafat ilmu pengetahuan yang merupakan salah satu cabang filsafat dengan sendirinya merupakan ilmu yang berusaha untuk memahami apakah hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri.
Bahwa hakekat ilmu menyangkut masalah keyakinan ontologik, yaitu suatu keyakinan yang harus dipilih oleh sang ilmuwan dalam menjawab pertanyaan tentang apakah “ada” (being, sein, het zijn) itu. Inilah awal-mula sehingga seseorang akan memilih pandangan yang idealistis-spiritualistis, materialistis, agnostisistis dan lain sebagainya, yang implikasinya akan sangat menentukan dalam pemilihan epistemologi, yaitu cara-cara, paradigma yang akan diambil dalam upaya menuju sasaran yang hendak dijangkaunya, serta pemilihan aksiologi yaitu nilai-nilai, ukuran-ukuran mana yang akan dipergunakan dalam seseorang mengembangkan ilmu.
Dengan memahami hakekat ilmu itu, dapatlah dipahami bahwa perspektif-perspektif ilmu, kemungkinan-kemungkinan pengembangannya, keterjalinannya antar ilmu, simplifikasi dan artifisialitas ilmu dan lain sebagainya, yang vital bagi penggarapan ilmu itu sendiri. Lebih dari itu, dikatakan bahwa dengan filsafat ilmu, kita akan didorong untuk memahami kekuatan serta keterbatasan metodenya, prasuposisi ilmunya, logika validasinya, struktur pemikiran ilmiah dalam konteks dengan realitas in conreto sedemikian rupa sehingga seorang ilmuwan dapat terhindar dari kecongkakan serta kerabunan intelektualnya.
Epistemologi mengkaji tentang pengetahuan (episteme secara harafiah berarti “pengetahuan”). Epistemologi membahas berbagai hal tentang pengetahuan seperti batas, sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan. Dari epistemologi inilah lahir berbagai cabang ilmu pengetahuan (sains) yang dikenal sekarang.
Aksiologi membahas masalah nilai atau norma sosial yang berlaku pada kehidupan manusia. Dari aksiologi lahirlah dua cabang filsafat yang membahas aspek kualitas hidup manusia: etika dan estetika.
Etika (tidak sama dengan etiket!) membahas tentang perilaku menuju kehidupan yang baik. Di dalamnya dibahas aspek kebenaran, tanggung jawab, peran, dan sebagainya.
Estetika membahas mengenai keindahan dan implikasinya pada kehidupan. Dari estetika lahirlah berbagai macam teori mengenai kesenian atau aspek seni dari berbagai macam hasil budaya.
MAZHAB-MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN
Filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat umum, maka salam membahas filsafat pendidikan akamn berangkat dari filsafat. Dalam arti, filsafat pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan menggunakan hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan, dan nilai. Dalam filsafat terdapat berbagai mazhab, aliran-aliran, seperti materialisme, idealisme, realisme, pragmatisme, dan lain-lain. Karena filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat, sedangkan filsafat beraneka ragam alirannya, maka dalam filsafat pendidikan pun kita akan temukan berbagai aliran, sekurang-kurnagnya sebanyak aliran filsafat itu sendiri.
Brubacher (1950) mengelompokkan filsafat pendidikan pada dua kelompok besar, yaitu filsafat pendidikan “progresif” dan filsafat pendidikan “ Konservatif”. Yang pertama didukung oleh filsafat pragmatisme dari John Dewey, dan romantik naturalisme dari Roousseau. Yang kedua didsari oleh filsafat idealisme, realisme humanisme (humanisme rasional), dan supernaturalisme atau realisme religius. Filsafat-filsafat tersebut melahirkan filsafat pendidikan esensialisme, perenialisme, dan sebagainya.
Berikut aliran-aliran dalam filsafat pendidikan:

1. Filsafat Pendidikan Idealisme: Filsafat idealisme memandang bahwa realitas akhir adalah roh, bukan materi, bukan fisik. Pengetahuan yang diperoleh melaui panca indera adalah tidak pasti dan tidak lengkap. Aliran ini memandang nilai adalah tetap dan tidak berubah, seperti apa yang dikatakan baik, benar, cantik, buruk secara fundamental tidak berubah dari generasi ke generasi. Tokoh-tokoh dalam aliran ini adalah: Plato, Elea dan Hegel,EmanuaelKant,DavidHume,AlGhazali
2. Filsafat Pendidikan Realisme: Realisme merupakan filsafat yang memandang realitas secara dualitis. Realisme berpendapat bahwa hakekat realitas ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia ruhani. Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subjek yang menyadari dn mengetahui di satu pihak dan di pihak lainnya adalah adanya realita di luar manusia, yang dapat dijadikan objek pengetahuan manusia.
Beberapa tokoh yang beraliran realisme: Aristoteles, Johan Amos Comenius, Wiliam Mc Gucken, Francis Bacon, John Locke, Galileo, David Hume, John Stuart Mill
3. FilsafatPendidikanMaterialisme: Materialisme berpandangan bahwa hakikat realisme adalah materi, bukan rohani, spiritual atau supernatural. Beberapa tokoh yang beraliran materialisme: Demokritos, Ludwig Feurbach.
4. FilsafatPendidikanPragmatisme:Pragmatisme dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun sebenarnya berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui apa yang manusia alami. Beberapa tokoh yang menganut filsafat ini adalah: Charles sandre Peirce, wiliam James, John Dewey, Heracleitos.
5. FilsafatPendidikanEksistensialisme: Filsafat ini memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu. Secara umum, eksistensialisme menekankn pilihan kreatif, subjektifitas pengalaman manusia dan tindakan kongkrit dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat manusia atau realitas.
Beberapa tokoh dalam aliran ini : Jean Paul Satre, Soren Kierkegaard, Martin Buber, Martin Heidegger, Karl Jasper, Gabril Marcel, Paul Tillich
6. FilsafatPendidikanProgresivisme: Progresivisme bukan merupakan bangunan filsafat atau aliran filsafat yang berdiri sendiri, melainkan merupakan suatugerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan.
Beberapa tokoh dalam aliran ini : George Axtelle, william O. Stanley, Ernest Bayley, Lawrence B.Thomas, Frederick C. Neff
7. Filsafat Pendidikan Esensialisme: Esensialisme adalah suatu filsafat pendidikan konservatif yang pada mulanya dirumuskan sebagai suatu kritik pada trend-trend progresif di sekolah-sekolah. Mereka berpendapat bahwa pergerakan progresif telah merusak standar-standar intelektual dan moral di antara kaum muda.
Beberapa tokoh dalam aliran ini: william C. Bagley, Thomas Briggs, Frederick Breed dan Isac L. Kandell.
8. Filsafat Pendidikan Perenialisme: Merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat dan teruji.
Beberapa tokoh pendukung gagasan ini adalah: Robert Maynard Hutchins dan ortimer Adler
9. Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme:Rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang. Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil.Beberapa tokoh dalam aliran ini: Caroline Pratt, George Count, Harold Rugg.
RELASI DAN RELEVANSI ANTARA ILMU, FILSAFAT DAN AGAMA
Jalan untuk mencari, menghampiri dan menemukan kebenaran dapat ditempuh dengan jalan, yaitu: ilmu, filsafat dan agama. Ketiga jalan ini mempunyai titik persamaan, titik perbedaan dan titik singgung yang satu terhadap yang lainnnya.
Ilmu Pengetahuan
Sebagai ilustrasi dikisahkan, bertanyalah seorang kawan kepada ahli filsafat yang arif dan bijaksana, “Bagaimana caranya agar saya mendapatkan pengetahuan yang benar?
“Mudah saja”, jawab filosof itu, “Ketahuilah apa yang kau tahu dan ketahuilah apa yang kau tidak tahu” .
Dari ilustrasi ini dapat digambarkan bahwa pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu dan merupakan hasil proses dari usaha manusia. Beranjak dari pada pengetahuan adalah kebenaran, dan kebenaran adalah pengetahuan, maka di dalam kehidupannya manusia dapat memiliki berbagai pengetahuan dan kebenaran.
Sedang ilmu pengetahuan sendiri mempunyai pengertian sebagai hasil usaha pemahaman manusia yang disusun dalam satu sistematika mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukum-hukum tentang hal ikhwal yang diselidiinya (alam, manusia, dan juga agama) sejauh yang dapat dijangkau daya pemikiran manusia yang dibantu penginderaannya, yang kebenarannya diuji secara empiris, riset dan experimental.
Filsafat
Endang Saifuddin Anshari, MA (1979:157), mendefiniisikan filsafat sebagai hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami (mendalami dan menyelami) secara radikal dan integral hakikat sarwa yang ada: (a) Hakekat Tuhan; (b) hakekat alam semesta; (c) hakekat manusia; serta sikap manusia termasuk sebagai konsekwensi daripada faham (pemahamnnya) tersebut.
Hal yang menyebabkan manusia berfilsafat karena dirangsang oleh: ketakjuban, ketidakpuasan, hasrat bertanya, dan keraguan kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang dialami manusia dalam kehidupannya (Rapar, 1996:16).
Untuk itulah dalam berfikir filsafat perlu dipahami karakteristik yang menyertainya, pertama, adalah sifat menyeluruh artinya seorang ilmuan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu sendiri, tetapi melihat hakekat ilmu dalam konstalasi pengetahuan yang lainnya, kedua, sifat mendasar, artinya bahwa seorang yang berfikirfilsafat tidak sekedar melihat ke atas, tapi juga mampu membongkar tempat berpijak secara fundamental, dan ciri ketiga, sifat spekulatif, bahwa untuk dapat mengambil suatu kebenaran kita perlu spekulasi. Dari serangkaian spekulasi ini kita dapat memilih buah pikiran yang dapat diandalkan yang merupakan titik awal dari perjelajahan pengetahuan (Jujun, 1990:21-22)
Agama
Agama–pada umumnya– merupakan (10 satu sistem credo (tata keimanan atau tata keyakinan) atas adanya sesuatu yang mutlak di luar manusia; (20 satu sistem ritus (tata peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya mutlak itu; (3) satu sistem norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan (Anshari, 1979:158).
Agama berbeda dengan sains dan filsafat karena agama menekankan keterlibatan pribadi. Kemajuan spiritual manusia dapat diukur dengan tingginya nilai yang tak terbatas yang ia berikan kepada obyek yang ia sembah. Seseorang yang religius merasakan adanya kewajiban yang tak bersyarat terhadap zat yang ia anggap sebagai sumber yang tertinggi bagi kepribadian dan kebaikan.
Agama tak dapat dipisahkan dari bagian-bagian lain dari kehidupan manusia, jika ia merupakan reaksi terhadap keseluruhan wujud manusia terhadap loyalitasnya yang tertinggi. Sebaiknya, agama harus dapat dirasakan dan difikirkan: ia harus diyakini, dijelaskan dalam tindakan (Titus, 1987:414).
Titik Persamaan dan Perbedaan
Baik ilmu, filsafat ataupun agama bertujuan–sekurang-kurangnya berurusan dengan hal yang–sama yaitu kebenaran. Namun titik perbedaannya terletak pada sumbernya, ilmu dan filsafat berumur pada ra’yu (akal, budi, rasio, reason, nous, vede, vertand, vernunft) manusia. Sedangkan agama bersumberkan wahyu.
Disamping itu ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan jalan penyelidikan (riset, research), pengalaman (empiri) dan percobaan (eksperimen) sebagai batu ujian. Filasafat menghampiri kebenaran dengan exploirasi akal budi secara radikal (mengakar); tidak merasa terikat oleh ikatan apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri bernama logika. Manusia mencari dan menemukan kebenaran dengan dan dalam agama dengan jalan mempertanyakan pelbagai masalah asasi dari atau kepada kitab suci.
Kebenaran ilmu pengetahuan adalah kebenaran positif (berlaku sampai dengan saat ini), kebenaran filsafat adalah kebenaran spekulatif (dugaan yang tidak dapat dibuktikan secara empiri, riset dan eksperimental). Baik kebenaran ilmu maupun kebenaran filsafat kedua-duanya nisbi (relatif). Sedangkan kebenaran agama bersifat mutlak (absolut) karena agama adalah wahyu yang diturunkan Allah.
Baik ilmu maupun filsafat dimulai dengan sikap sanksi dan tidak percaya. Sedangkan agama dimulai dengan sikap percaya atau iman (Annshari, 1996:158-160).

Kamis, 10 Desember 2009

Analisis Strukturalisme Mata Untuk Mama

PENDAHULUAN


1. Latar Belakang Penulis
Sainul Hermawan, lahir di Desa Brakas. Kecamatan Raas, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, sekitar 13 Maret 1973. Pendidikan dasar sampai menengahnya seluruhnya ditempuh di Sumenep. Setelah menyelesaikan studi pasca sarjananya di Pascasarjana Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada 2003, dia kembali mengajar di almamaternya, FKIP Universitas Islam Malang, Jawa Timur. Ketika masih di Malang, Jawa Timur, di samping kesibukannya sebagai pengajar, dia aktif menulis esai dan resensi buku tentang seni, budaya, pendidikan, dan politik untuk Malang Post, Posinfo, Warta, Koran Pendidikan, Metro Pos, dan Kompas Jawa Timur. Selain menulis esai dan resensi, dia juga sesekali menulis cerpen dan puisi.
Sejak (Februari 2005) menjadi staf pengajar di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah (PS-PBSID) FKIP Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM), Banjarmasin, Kalimantan Selatan, esai dan cerpennya ikut menghiasi lembaran sastra SKH Radar Banjarmasin dan Seloka Tepian (Media Alternatif Sastra Banjarbaru, Kalimantan Selatan). Esai-esainya tentang jurnalistik dan kebudayaan lokal juga menghiasi lembar opini SKH Banjarmasin Post. Analisis ilmiahnya mengenai sastra dapat dibaca di Jurnal Pendar (Solo), Jurnal Metafor, dan Jurnal Wiramartas (Banjarmasin). Di PS-PBSID FKIP UNLAM dia membina mata kuliah Teori Sastra, Kritik Sastra, Semantik, Sosiolinguistik, Penerjemahan, dan Ilmu Budaya Dasar. Selain sebagai dosen tetap di FKIP UNLAM, dia juga menjadi dosen tidak tetap di STKIP PGRI Banjarmasin, membina mata kuliah Filsafat Ilmu, Filsafat Bahasa, Introduction to Literature, dan Penulisan Kreatif Sastra. Bukunya yang telah terbit adalah Tionghoa dalam Sastra Indonesia (Ircisod, 2005).
2. Pandangan Strukturalisme Terhadap Karya Sastra
Pendekatan struktural dipelopori oleh kaum Formalis Rusia dan Strukturalisme Praha. Sebuah karya sastra memiliki sifat keotonomian, sehingga pembicaraan terhadapnya juga tidak perlu dikaitkan dengan hal-hal lain di luar karya sastra.
Sebuah karya sastra, fiksi atau puisi, menurut kaum strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur (pembangun)-nya. Di satu pihak struktur karya sastra dapat diartikan sebagi susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah. Di pihak lain struktur karya sastra juga menyarankan pada pengertian hubungan antara unsur (intrinsic) yang bersifat timbal-balik, saling menentukan, saling mempengaruhi, yang secara bersama mambentuk satu kesatuan yang utuh.
Selain itu istilah struktural di atas, dunia kesastraan (juga: linguistik) mengenal istilah strukturalisme. Strukturalisme dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan kesastraan yang menekankan pada kajian hubungan antaraunsur pembangun karya yang bersangkutan. Strukturalisme (disamakan dengan pendekatan objektif) dapat dipertentangkan dengan pendekatan yang lain, seperti pendekatan mimetik, ekspresif, dan pragmatik. Dengan demikian, kodrat setiap unsur dalam bagian sistem struktur itu baru mempunyai makna setelah berada dalam hubungannya dengan unsur-unsur yang lain yang terkandung di dalamnya.
Analisis struktural karya sastra, yang dalam hal ini fiksi, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antaraunsur instrinsik fiksi yang bersangkutan. Mula-mula diidentifikasi dan dideskripsikan, misalnya, bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lainnya. Hubungan antarunsur dapat secara bersama membentuk sebuah totalitas-kemaknaan yang padu. Misalnya, bagaimana hubungan antara peristiwa yang satu dengan yang lainnya, kaitannya dengan pemplotan yang tak selau kronologis, kaitannya dengan tokoh dan penokohan, dengan latar dan sebagainya. Yang lebih penting adalah menunjukkan bagaimana hubungan antaraunsur itu, dan sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan yang ingin dicapai

II. Pandangan Strukturalisme Terhadap Sastra dalam Cerpen “Mata untuk Mama” karya Sainul Hermawan

A. Peristiwa
Menurut pandangan strukturalisme bahwa peristiwa yang terjadi dalam suatu cerita bisa secara kronolgis atau pun secara linear. Jika dilihat dari ceita Mata untuk Mama berbentuk kronologis karena cerita terjadi tidak berurutan atau tidak runtut tapi dari satu kejadian dengan kejadian yang lain berhubungan dan tidak dapat dipisahkan.

1. Rangkaian Peristiwa
-Mataku hanya menangkap garis warna
-Melihat mamaku menyeberang jalan
-Dia tidak bersama ku
-Mengetahui berbagai macam perempuan tapi tidak mengetahui nama-nama mereka
-Bertanya pada nenek tentang ibuku
-Nenek memberikan jawaban atas pertanyaanku, bahwa mamanya sedang mencari seseorang untuk mengajari bercinta
-Bertanya mengenai pertanyaan yang berulang-ulang
-Perempuan itu, membayarkan makanan yang telah kami makan
-Ucapan terima kasih ku kapada ibu yang memberikan traktiran
-Nenek menjelaskan papanya
-Perempuan itu mengatakan kenapa mengulang-ngulang cerita
-Perempuan itu bergegas membayar ke warung
-Ucapan terima kasih dari si ibu, bahwa dia senang mendengar ceritanya
-Ibu itu menyuruh masuk sekolah karena jam istirahat sudah habis
-Ucapan terima kasih kepada si ibu
-Mamaku menemukan Arjunanya
-Merencanakan maker dengan menyewa manusia-manusia tanpa jiwa
-Arjuna bersendawa bunga dan berkata-kata wewangian
-Sesuatu menerbangkan mereka
-Arjuna sakit tapi tidak cedera
-Kaki kiri mama patah
-Arjuna menghilang kekayangan untuk bercinta
-Mama menghilang dari rumah sakit
-Dia tidak memberi tahu keluarganya
-Dia ada di desa, di rumah seorang perempuan berhati kapas
-Luka itu mulai kering
-Setiap pagi memandang matahari
-Ia mencari inspirasi untuk melepaskan tongkatnya
-Tak sampai sebulan sudah bisa jalan lagi tapi tidak seindah dulu langkahnya.
-Anak dan ibu sedang bercerita
-Ibu memberikan pujian terhadap cerita yang didengarkannya
-Perempuan itu memesan lagi es
-Terjadi obrolan di warung
-Si perempuan bertanya tentang wajah ibu si anak
-Si anak ragu mengangguk atau menggeleng
-Si anak bercerita tentang ibunya
-Si anak tidak menceritakan semua tentang ibunya tapi ada sisi pentying yang tidak disampaikannya
-Si ibu dan si anak bercerita tentang akan kerinduannya
-Si anak meminta ijin utnuk bertanya sesuatu
-Si ibu memperbolehkan dan berharap dapat menjawab atas pertanyaannya
-Si anak bertanya kepada si ibu
-Perasaan si ibu begitu hancur karena ulah suaminya, tapi dia masih mengingat wajah anak yang telah ditinggalkannya
-Si ibu akan berangkat mutasi dan memberikan kenang-kenangan kepa si anak
-Si anak merasa senang atas kenang-kenangan yang diberikan
-Si anak remaja sungkem kepada si ibu berpakaian dinas
-Si anak meminta ijin untuk beryukar pikiran melalui telpon
-Sebenarnya si anak mengetahui bahwa si ibu itu adalah ibu kandungnnya
-Anak itu merahasiakan kepada papa nya bahwa ia telah mengetahui ibunya

2. Pemplotan
-Papahnya seorang ningrat yang senang perempuan
-Ibunya meninggalkan dia
-Anak itu merindukan ibunya
-Anak itu bertemu dengan perempuan di depan sekolah
-Komunikasi dua orang yang saling menyembunyikan rahasia mereka masing-masing
-Perpisahan
-Si anak memberikan foto kepada si ibu yang hanya tinggal matanya
-Si ibu memberikan bola dan pena yang di dalamnya berisi foto si anak
-Si ibu berpisah dengan anaknya karena dinasnya di pindahkan

3. Episode
Senang main perempuan karena dia merasa
mampu dan memiliki harta yang banyak

Papa orang kaya ------------------------------ I ---------------------- meninggalkan istrinya
Balas dendam terhadap perbuatan suaminya
terhadap dirinya

Si ibu meninggalkan anaknya ---------------- I ------------------- si ibu mencari Arjuna

Pertemuan antara ibu dengan anak, tapi
diantara mereka saling menjaga rahasia.
Dalam diri si ibu merasa menyesal karena
Telah manyia-nyiakan anaknya
Si ibu bertemu dengan anaknya ------------- I ------------------ si anak merasa senang

Si ibu pindah tempat kerja
Perpisahan kembali antara ibu dan anak ------- I --------------- si anak merindukan



B. Tokoh dan Penokohan
Tokoh yang ada dalam cerpen ini masing-masing meiliki ikatan batin yang kuat. Tapi ikatan batin ini teputus karena sama-sama memiliki perasaan telah dihiyanati. Si papa karena ia merasa paling kaya dan terhormat sehingga ia mudah sekali untuk memperaminkan wanita kapan pun, siapa pun, dan dimana pun krena ia merasa memiliki segalanya. Tokoh papa pada peristiwa pertama dan terakhirnya berebntuk desekripsi saja dari si penulis atau mungkin juga dari aku lirik atau mungkin juga tokoh yang diceritakan oleh tokoh yang ada dalam cerita.
Nenek dalam cerita ini tokoh nenek keterlibatannya tidak langsung. Karena tidak terdapat percakapan antara si anak dan si nenek tapi hanya ada paparan bahwa si anak telah bertanya mengenai keberadaan ibunya. Jadi tokoh nenek ini peranannya penting juga karena mengetahui keadaan si ibu dan mengapa si ibu meninggalkan anaknya. Adapun percakapan antara si nenek dan si cucu itu merupakan percakapn flash back saja karena pada peristiwa berikutnya tokoh si nenek tidak muncul lagi.
Perempuan berbaju dinas, merupakan tokoh yang penting dalam cerita karena dia yang memegang cerita mulai dari awal sampai akhir. Karena sebenarnya si ibu berpakaian dinas telah mengetahui bahwa anak yang diajak bicara itu adalah anaknya. Tapi dia tidak ingin berterus terang mengakuinya karena dalam dirinya ia memiliki persaan bahwa ia telah menyia-nyiakan anaknya karena merasa dia telah disakati oleh papanya.
Si anak, dalam cerita ini peranannya sama pentinya seperti ibu berpakain dinas. Si anak sendiri merasa dan megakui bahwa ibu yang diajak bicara tersebut adalah ibunya, namun dia tidak mengungkapkan yang sebenarnya. Jadi dia hanya bercerita saja tentang keadaan ibunya. Si anak memiliki foto ibu nya namun sebagian dari foto tersebut telah dirobeknya yang tersisa dari foto itu hanya gambar mata.
Arjuna dalam cerita hanya sebagai tokoh tambahan yang keberadaanya tidak begitu penting karena dari cerita hanya muncul pada bagian awal, bahwa si arjuna merupakan pelarian dari si ibu untuk melepaskan nafsu nya saja. Arjuna tersebut merupakan dambaan dari si ibu.

C. Sudut Pandang Penceritaan
Dalam cerpen Mata untuk Mama, sudut pandang yang digunakan adalah third person technique, di mana dalam teknik penceritaan menggunakan oarng ketiaga. Hal ini dapat diketahui bahwa isi dai cerita tersebut banyak sekali narasi yang digunakan untuk menceraitakan tokoh yang lain. Seperti kondisi si papa pada saat menyakiti istrinya. Dan si anak banyak sekali menceritakan kondisi ibu dengan bentuk narasi.


D. Plot/Alur
Plot atau alur yang digunakan dalam cerita ini adalah alur capuran atau compound plot. Cerita dalam cerpen ini ada yang menceritakan masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan dating.
Cerita masa lalu : contohnya pada saat si papa menyakiti istrinya terdapat pada bagian tiga, hal ini dapat diketahui mengapa si papa meninggalakn si ibu
Cerita masa sekarang : pada saat percakapan dengan si ibu di warung sekolah. Namun yang diceritakannya adalah hal-hal masa lalu.
Cerita masa yang akan datang : tentang kepindahan si ibu berpakaian dinas yang harus pindah karena tugas.
Pada akhir deskripsi yang diungkapkan oleh si tokoh bahwa anak dan ibu itu sama-sama memiliki foto diantara meraka. Namun mereka sama-sama menjaga rahasia yang mereka miliki bahwa meraka adalah ibu dan anak kandung sendiri.

E. Simbol
Dalam cerita Mata untuk Mama, penulis banyak sekali menggunakan simbol untuk mengungkapkan makna yang lebih mendalam kepada pembaca. Makna dari simbol yang ada dalam cerita yaitu untuk mengungkapkan perasaan-perasaan yang ada pada tokoh dan begitu mendalam sekali baik untuk pembaca mapun tokoh yang ada dalam cerita sebagai lawan main.


Simbol-simbol yang terdapat dalam cerita tersebut yaitu:
1. Garis dan warna
2. Arjuna
3. Tikus
4. Rumah tangga
5. Rumah-rumah bertangga
6. Berpakaian pejabat
7. Makar
8. Bersendawa bunga
9. Berkata-kata wewangian bunga abad dua puluh
10. licin
11. kayangan
12. berkayang
13. dayang-dayang
14. perempuan berhati kapas
15. luka
16. sepi
17. memandang matahari
18. menerobos dedaunan
19. menyuntikan energi
20. kertas-kertas cerita sketsa
21. tak punya kepala
22. anak-anak burung
23. kabut pikiran
24. mencincang batinnya
25. jejak
26. tertiup angin
27. sepatu bola dan pena

LATAR (SETTING)
1. Latar tempat (Setting of Place)
Sebagian besar latar dalam cerita ini mengambil latar di sebuah warung yang berada di dekat sekolah anak remaja laki-laki tersebut, di tempat inilah dia selalu menghabiskan waktunya untuk berbincang-bincang dengan seorang wanita yang cantik yang selalu membayarkan makanannya dan ternyata dia adalah ibu kandungnya.
Perempuan berpakaian pejabat. Cantik. Baik hati karena dia selalu membayar makananku saat aku jajan diwarung itu dan kebetulan dia juga makan disitu. Sekolahku dan kantornya hanya berjarak sekitar lima bangunan di sisi jalan yang sama.
Ada beberapa latar tempat lainnya di dalam cerita ini, seperti desa tempat ibunya tinggal setelah meninggalkannya dan juga rumah sakit tempat ibunya dulu dirawat setelah mengalami kecelakaan, namun latar tersebut hanya disebutkan secara eksplisit saja dan hanya diketahui dari ucapan anak remaja tersebut.

2. Latar Waktu (Setting of Time)
Latar waktu dalam cerita ini terjadi pada pagi hari dan pada saat-saat jam sekolah berlangsung antara pagi sampai siang hari karena wanita itu selalu berbincang dengan anak remaja laki-laki tersebut pada saat dia berada di sekolah “ sekolahku dan kantornya hanya berjarak sekitar lima bangunan di sisi jalan yang sama. Anehnya, hanya dia yang tampak berani jajan di warung kelas siswa SMP”, dari kutipan ini dapat disimpulkan bahwa wanita tersebut selalu membeli makanan dan membayarkan makanan anak remaja laki-laki tersebut pada jam-jam sekolah.

3. Latar Sosial (Social Setting)
Latar sosial dalam cerita ini mengambil kesenjangan antara orang yang berasal dari kalangan ningrat dengan kaum biasa. Ayah anak remaja tersebut merupakan orang yang berasal dari golongan atas, seorang ningrat yang bisa memandang rendah kaum yang berada di bawahnya dan menganggap remeh seorang perempuan yang menurutnya adalah makhluk yang bisa dipermainkan. Kepergian ibu anak remaja tersebut pun disebabkan oleh sikap ayahnya tersebut.

Sebab lelaki itu merasa perempuan itu bermartabat karena dirinya yang ningrat, keturunan orang terpandang, yang berhak menendang mereka yang dianggap kurang terpandang. Dia merasa dengan mudah mendapatkan perempuan yang lebih darinya karena setiap perempuan telah dianggapnya sebagai makhluk bodoh, yang mudah tergiur oleh kekayaannya.



DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. Chaedar. 2002. Pokoknya Kualitatif. Pustaka Jaya : Bandung.

Aminudin, Drs., M.Pd. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Sinar Baru Algesindo : Bandung.

Atmazaki, Drs. 1991. Analisis Sajak, Teori, Metodologi dan Aplikasi. Angkasa : Bandung.

Eagleton, Terry. 2006. Teori Sastra, Sebuah Pengantar Komprehensif. Jalasutra: Yogyakarta.

Hawthorn, Jeremy. 1985. Studying Novel, An Introduction. Edward Arnold Press: Great Britain.

Keraf, Gorys. 2004. Diksi dan Gaya Bahasa. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.

Koentjaraningrat. 1973. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Edisi Ketiga. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta.

Nurgiyantoro, Burhan. 2006. Teori Pengkajian Fiksi. Gadjah Mada Universty Press : Yogyakarta.

Pradopo, Rachmat Djoko, Prof. Dr. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Pustaka Pelajar : Yogyakarta.

------------------ 2005. Pengkajian Puisi. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.

------------------dkk. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Hanidita Graha Widya dan Masyarakat Poetika Indonesia : Yogyakarta.

Sangidu. Dr. M.Hum. 2005. Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori, Metode, Teknik dan Kiat. Seksi Penerbitan Sastra Asia Barat. Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Gadjah Mada : Yogyakarta.

Semi, M. Atar, Prof. Drs. 1990. Metode Penelitian Sastra. Angkasa : Bandung.

Suharyati, Henny, Dra., MA. 1995. Pengantar Pengkajian Prosa. Bahan Ajar Mata Kuliah Prose Fakultas Sastra Universitas Pakuan Bogor (tidak dipublikasikan).

Suwondo, Tirto. 2003. Studi Sastra, Beberapa Alternatif. Hanindita Graha Widya : Yogyakarta.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Pustaka Jaya : Jakarta.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Gramdia : Jakarta.

Wiyatmi. 2005. Pengantar Kajian Sastra. Pustaka : Yogyakarta.

Senin, 16 November 2009

we think the best for our life

In the silent, so silent
In the night, the moon brightness
but when we think, what should I do
I wanna do, what I wanna do
Remind, all you have comes from your heart

Lovely life
nice think
smile is the key
I hope, I hope...
What will You do?

A little shine comes to my heart
A Daffodils life on the river
smile, smile, and smile
Think before
We don't just give the instructions

But you should...
You Prove well done
The best will come
When your mind is light

Jumat, 23 Oktober 2009

Sastra Nusantara Sullam Al Tufiq

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Ilmu Kalam adalah salah satu dari empat disiplin keilmuan yang telah tumbuh dan menjadi bagian dari tradisi kajian tentang agama Islam. Tiga lainnya ialah disiplin-disiplin keilmuan Fiqh, Tasawuf, dan Falsafah. Jika Ilmu Fiqh membidangi segi-segi formal peribadatan dan hukum, sehingga tekanan orientasinya sangat eksoteristik, mengenai hal-hal lahiriah, dan Ilmu Tasawuf membidangi segi-segi penghayatan dan pengamalan keagamaan yang lebih bersifat pribadi, sehingga tekanan orientasinya pun sangat esoteristik, mengenai hal-hal batiniah, kemudian Ilmu Falsafah membidangi hal-hal yang bersifat perenungan spekulatif tentang hidup ini dan lingkupnya seluas-luasnya, maka Ilmu Kalam mengarahkan pembahasannya kepada segi-segi mengenai Tuhan dan berbagai derivasinya. Karena itu ia sering diterjemahkan sebagai Teologia, sekalipun sebenarnya tidak seluruhnya sama dengan pengertian Teologia dalam agama Kristen, misalnya. (Dalam pengertian Teologia dalam agama kristen, Ilmu Fiqh akan termasuk Teologia). Karena itu sebagian kalangan ahli yang menghendaki pengertian yang lebih persis akan menerjemahkan Ilmu Kalam sebagai Teologia dialektis atau Teologia Rasional, dan mereka melihatnya sebagai suatu disiplin yang sangat khas Islam.

Sebagai unsur dalam studi klasik pemikiran keislaman. Ilmu Kalam menempati posisi yang cukup terhormat dalam tradisi keilmuan kaum Muslim. Ini terbukti dari jenis-jenis penyebutan lain ilmu itu, yaitu sebutan sebagai Ilmu Aqd'id (Ilmu Akidah-akidah, yakni, Simpul-simpul [Kepercayaan]), Ilmu Tawhid (Ilmu tentang Kemaha-Esaan [Tuhan]), dan Ilmu Ushul al-Din (Ushuluddin, yakni, Ilmu Pokok-pokok Agama). Di negeri kita, terutama seperti yang terdapat dalam sistem pengajaran madrasah dan pesantren, kajian tentang Ilmu Kalam merupakan suatu kegiatan yang tidak mungkin ditinggalkan. Ditunjukkan oleh namanya sendiri dalam sebutan-sebutan lain tersebut di atas, Ilmu Kalam menjadi tumpuan pemahaman tentang sendi-sendi paling pokok dalam ajaran agama Islam, yaitu simpul-simpul kepercayaan, masalah Kemaha-Esaan Tuhan, dan pokok-pokok ajaran agama. Karena itu, tujuan pengajaran Ilmu Kalam di madrasah dan pesantren ialah untuk menanamkan paham keagamaan yang benar. Maka dari itu pendekatannya pun biasanya doktrin, seringkali juga dogmatis.

Meskipun begitu, dibanding dengan kajian tentang Ilmu Fiqh, kajian tentang Ilmu Kalam di kalangan kaum "Santri" masih kalah mendalam dan meluas. Mungkin dikarenakan oleh kegunaannya yang praktis, kajian Ilmu Fiqh yang membidangi masalah-masalah peribadatan dan hukum itu meliputi khazanah kitab dan bahan rujukan yang kaya dan beraneka ragam. Sedangkan kajian tentang Ilmu Kalam meliputi hanya khazanah yang cukup terbatas, yang mencakup jenjang-jenjang permulaan dan menengah saja, tanpa atau sedikit sekali menginjak jenjang yang lanjut (advanced). Berkenaan dengan hal ini dapat disebutkan contoh-contoh kitab yang banyak digunakan di negeri kita, khususnya di pesantren-pesantren, untuk pengajaran Ilmu Kalam. Yaitu dimulai dengan kitab 'Aqidat al-'Awamm (Akidat Kaum Awam), diteruskan dengan Bad' al-Amal (Pangkal Berbagai Cita) atau Jawharat al-Tauhid (Pertama Tauhid), mungkin juga dengan kitab Al-Sanusiyyah (disebut demikian karena dikarang oleh seseorang bernama al-Sanusi).

Disamping itu, sesungguhnya Ilmu Kalam tidak sama sekali bebas dari kontroversi atau sikap-sikap pro dan kontra, baik mengenai isinya, metodologinya, maupun klaim-klaimnya. Karena itu penting sekali mengerti secukupnya ilmu ini, agar terjadi pemahaman agama yang lebih seimbang.

Di antara berbagai ketegori naskah Nusantara, naskah keagamaan (baca :Islam) merupakan salah satu jenis ketegori naskah yang jumlahnya relatif banyak. Hal ini tidak terlalu mengherankan, mengingat kenyataan bahwa ketika Islam dengan segala kekayaan budayanya masuk di wilayah Nusantara pada umumnya dan di wilayah Indonesia pada khususnya. Buadaya tulis menulis sudah relatif mapan sehingga ketika terjadi persentuhan antara Islam dan budaya tulis menulis tersebut, maka muncullah berbagai aktivitas penulisan naskah-naskah keagamaan yang memang menjadi media paling efektif untuk melakukan transmisi yang terjadi antara ulama Melayu-Indonesia dan para ulama Timur Tengah, maupun Melayu-Indonesia dan murid-muridnya (Ikram, 1997 : 139). Sejak abad ke-13 bangsa Indonesia telah didatangi oleh para ulama sufi yang dalam proses penyebaran Islam banyak pula menghasilkan berbagai tulisan, yang kini tersimpan dalam bentuk naskah, menyangkut ajaran-ajaran tasawuf yang mereka sampaikan kepada masyarakat (Azra, 1994 : 32).

Untuk mengetahui isi dari naskah-naskah islam yang tersebar begitu banyak itu, maka dibutuhkan telaah secara filologi. Pendekatan filologi merupakan salah satu sarana untuk bisa menggali pengetahuan masa lampau khususnya kahazanah keilmuan. Adapun kandungan teks yang tersimpan dalam naskah-naskah warisan nenek moyang bangsa Indonesia itu menyimpan informasi berbagai bidang ilmu, seperti; sejarah, hukum, bahasa, sastra, filsafat, moral, obat-obatan dan sebagainya. Banyak pula yang mengungkap tentang ajaran-ajaran agama seperti; agama Islam, agama Budha, agama Hindu dan Kristen dan bahkan merupakan percampuran agama atau yang kita kenal sebagai ajaran sinkritisme.

Naskah-naskah yang menyimpan ajaran agama Islam banyak yang menggunakan tulisan (aksara) Arab (jawi atau Pegon). Dari segi kandungan isinya, naskah-naskah yang menyimpan sejumlah informasi yang penting khususnya bagi pemahaman terhadap sejarah perkembangan agama Islam dalam sejarah perkembangan kehidupan agama di Indonesia (Barried dkk. 1994 : 10). Berdasrakan alasan inilah maka diputuskan untuk mengambil naskah Kitab Sulamut Taufiq Ila Mahabbatillah merupakan salah satu naskah agama yang menggunakan tulisan Arab Pegon dengan menggunakan bahasa Sunda yang disalinh oleh Bpk. M. Toha (Alm.) yang diprakarsai oleh Haji Ismail, yang bertempat tinggal di Dayeuhluhur Wetan Sukabumi.

Yang paling menarik dari naskah ini adalah isi dari kitabnya sendiri yang menerangkan tentang ke Esaan Allah SWT, hal-hak yang menyebabkan menjadi kafir dan murtad, fiqih dan dasar-dasar ilmu islam lainnya. Dan juga naskah tersebut merupakan hasil salinan oarng tua peneliti sendiri.

Oleh karena hal tersebut, penulis mengangkat naskah ini untuk dijadikan sebagai objek penelitian, karena sampai sekarang naskah ini belum pernah diteliti secara filologi, baik dalam transliterai maupun dalam terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia. Dan mungkin kita dapat menemukan naskah kitab Sulamut Taufiq Ila Mahabbatillah dalam bentuk matan dengan tulisan scholia.

2. Kesenjangan dan Harapan

Kesenjangan dan harapan yang terdapat pada naskah ini dari dulu sampai sekarang tidak pernah pupus. Kesenjangannya yaitu tentang gambaran orang kafir dan orang murtad seperti Cina dan Belanda (Cina jeung Walanda) sementara dalam Hadits yang meriwayatkan tentang mencari ilmu yaitu “Utlubul ilmi walaubissin“ yang artinya carilah ilmu sampai ke negeri Cina.

Meskipun dalam naskah ini mungkin banyak sekali perbedaan dengan aturan-aturan yang ada dalam organisasi Islam khususnya di Indonesia, tapi juga dalam naskah ini mengandung berbagai harapan hidup dalam berbagai aspek kehidupan antara lain hal-hal yang berhubungan kebahasaan, kesastraan, kemasyarakatan, dan khususnya mengandung nilai-nilai luhur tentang aturan hidup agar selamat di dunia dan akhirat.

3. Tujuan dan Manfaat

Dalam penelitian filologi dalam naskah ini peneliti memiliki tujuan diantaranya:

1. Dengan menampilkan terjemahan yang berbahasa Indonesia dapat memudahkan pembaca memahami apa yang terkandung di dalam naskah.

2. Dengan adanya penelitian ini, pembaca juga bisa mendapatkan teks yang dianggap peling mendekati isinya.

3. Adanya penelitian ini membuka mata masyarakat Indonesia bahwa leluhur bangsa kita adalah orang yang pintar yang mampu berkarya, yaitu perpaduan karya sastra antara huruf Arab dan bahasa Sunda

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat selain bagi masyarakat umum juga berguna bagi disiplin ilmu lain seperti:

1. Sebagai alat bantu ilmu sastra, yaitu berupaya penyediaan penyuntingan naskah lama dan hasil pembahasan teks yang mungkin dapat dimanfaatkan sebagai bahan penyusunan sejarah sastra maupun teori sastra.

2. Sebagai alat bantu linguistik, yaitu pada umumnya ahli linguistik mempercayakan pembacaan teks-teks lama kepada ahli filologi

3. Sebagai alat bantu sejarah kebudayaan, yaitu filologi banyak mengungkapakn khazanah ruhaniyah warisan nenek moyang, misalnya; kepercayaan, adat istiadat, kesenian, dan lain-lain.

4. Sebagai alat bantu ilmu sejarah , yitu menampilakn suntingan naskah-naskah.

5. Filologi sebagai alat bantu sekjarah perkembangan agama, yaitu banyak naskah nusantara mengandung teks keagamaan

6. Filologi sebagai alat bantu ilmu filsafat, yaitu renungan yang bersifat filsafat yang pernah terjadi pada masa lampau antara lain dapat digali lewat warisan budaya lama yang berwujud naskah atau teks sastra (Barried dkk., 1994 : 28-30)

7. Dalam konteks studi ilmu-ilmu agama, keberadaan naskah kuno sangat penting. Beberapa penulis Islam kuno sering dimanfaatkan untuk pengemabangan filsafat agama. Karya-karya penulis Islam kuno, juga bisa dimanfaatkan untuk studi di luar filsafat agama, dengan demikian filologi harus dipandang sebagai sesuatu yang universal. Pasalnya, apabila ingin mempelajari suatu naskah kuno, filologi pun bergantung dengan ilmu lain, seperti ahli tafsir Al-Qur’an atau sejarawan.

Intisari dari naskah Sulamut Taufiq Ila Mahabbatillah

Karya Bpk. M. Toha

Dari Dayeuhluhur Wetan Sukabumi

Naskah ini sudah tidak memiliki jilid, dan sebagian halaman ada yang hilang dan sudah robek, sehingga tidak diketauhi bentuk bagian awal dan akhir. Namun berdasarkan informasi yang didapatkan dari pemilik naskah yakni istri dari si penyalin naskah, bahwa penulisan naskah ini diprakarsai oleh Haji Ismail saudara dar si penyalin yang berasal dari daerah Tegal Jawa Tengah. Adapun naskah ini ditulis dengan menggunakan aksara Arab Pegon dengan menggunakan bahasa sunda dengan menggunakan kertas Belanda dengan watermaerk MUCE dan tulis tangan asli dengan tinta warna ungu.

Isi awal dari naskah tidak diketahui karena halaman awalnya dudah hilang dan susunan halamannya pun sebagain sudah tidak berurutan. Tapi pada bagian awal halaman yang masih ada menjelaskan tentang wajib meyakini Allah Ta’ala.

Adapun isi pokok dari naskah ini adalah tentang dua kalimah syahadat, beserta artinya yang menegaskan bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah serta bagi mereka yang tidak meyakininya maka termasuk orang kafir beserta penjelasannya secara mendetil. Isi yang lebih lengkapnya dari naskah ini yaitu:

1. Ciri-ciri orang kafir dan oarng murtad

2. Hukum jika eorang sujud kepada sesama manusia yang dianggap derajatnya lebih tinggi disamakan dengan sujud kepada Allah SWT.

3. Tentang hukum wajib, sunat, makruh, wenang dan haram,

4. Rukun Iman dan Rukun Islam

5. Keharusan menjaga diri dariu barang-barang haram

6. Fiqih wanita tentang haid pada waktu akan melaksanakan shalat

7. Dan pada bagian akhir halaman yang masih ada bahwa naskah kitab Sulamut Taufiq Ila Mahabbatillah merupakan tangga untuk meminta pertolongan Allah SWT. Dan orang-orang yang senang serta lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.

8. Kitab ini merupakan pegangan bagi orang-orang yang ingin lebih mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.

Kamis, 22 Oktober 2009

selintas naskah

Naskah pada masa sekarang sudah mulai menjadi perhatian msyarakat dan pemerintah. Karena ternyata bahwa naskah sangat penting keberadaannya. dalam melaksanakan kajian naskah yakni dengan menggunakan ilmu filologi.